Memilih, Mendidik atau Mengorupsi?

May 11, 2016 Admin 0 Comments



Kita tahu, korupsi adalah musuh bebuyutan kita. Banyak sekali kehidupan yang menghilang karena hal tersebut. Kecil atau besar, uang ataupun waktu, semuanya tetap bisa dikatakan korupsi.

Akhir-akhir ini saya dekat dengan komunitas para kepala sekolah, begitu juga dengan cerita terkait dengannya yang akhirnya membuat saya memberanikan diri bertanya beberapa hal terkait rumor tersebut.

Sebelumnya, yang saya tahu kepala sekolah hanyalah sebuah jabatan tertinggi di sekolah. Dia bertanggung jawab atas semua hal yang berlangsung di sekolah itu. Secara prestige tingkatan sosial, itu benar-benar membanggakan memang. Sehingga saya angap wajar saja banyak orang memperebutkan posisi itu. Padahal jika kalian tahu, posisi kepala sekolah tak selalu kosong. Tes nya tak selalu berlangsung setiap tahun. Dan tentu saja, persyaratannya bukan hal mudah. Apalagi untuk penempatan pertama tidak pernah langsung berada di lokasi strategis seperti di kota dengan jalanannya yang mulus, tapi di sekolah rintisan pinggiran yang kadang hanya bisa ditempuh dengan kendaraan khusus.

Tapi kenapa banyak sekali orang yang memperebutkan kursi itu? Bahkan tidak sedikit dari mereka yang merelakan beberapa puluh juta rupiah agar segera diangkat dan di tempatkan di posisi ini. Sebegitu mewahnyakah posisi ini?

Tapi ternyata saya salah besar. Kepala sekolah bukan hanya perkara jabatan. Tapi ternyata juga perkara uang!!! 

Siang itu saat perbincangan seorang kepala sekolah kenalan saya bersama dengan temannya, saya tak sengaja mendengar penjelasannya. Kepala sekolah bukan hanya perkara sebutan jabatan, tapi juga pesangon bulanan yang tak pernah surut. Mulut saya hanya bisa menganga karena tak pernah percaya hal itu.

Kepala sekolah memiliki banyak sekali tunjangan karena tugasnya. Sehingga banyak sekali post untuk memungkinkan honorarium nakal mengalir mulus kesana. Perkara uang 1-beberapa puluh juta bisa dengan mulus masuk dengan kata 'uang ganti bla bla bla'. Padahal uang yang mereka terima lebih banyak dari dana BOS dan juga biaya pembangunan sekolahnya.

Dengan alasan apapun, biaya pembangunan apalagi BOS bukanlah hal para pelaksananya. Mereka adalah hak anak didik yang tengah berjuang belajar untuk meneruskan kehidupan negara kelak. Tidak ada kata uang ganti bla bla bla atau bonus yang boleh diambilkan dari sana. Karena tunjangan profesi sudah masuk pada rincian gaji bulanan. Tapi semuanya berlaku seperti alah bisa karena biasa. Semua honorarium liar dan uang pengganti liar masuk dengan berbagai alasan dan nama. Dan saya tekankan lagi, ini sudah biasa sehingga tak ada lagi wajah korupsi. Semuanya dipoles rapi.

Korupsi ternyata tak lagi hanya ada di jajaran pemerintahan kelas atas, tapi juga sudah masuk ke lini pendidikan. Dimana seharusnya mereka mencontohkan kebersihan hidup dari kata korupsi. Sehingga akhirnya pertanyaan tentang 'kenapa sulit sekali memberatas korupsi' terjawab. Yaitu karena korupsi sudah berada pada rahim negaranya. Tempat dimana harusnya semua prosesnya benar-benar murni dan bersih. 

Tapi tenang, saya tak memiliki bukti untuk hal itu sehingga kalian bisa bilang saya membual. Toh saya menulis ini karena takut apa yang menjadi logika saya hanya menguap seperti mimpi saya saat tidur semalam. Dan juga tenang saja, jika itu memang terbukti benar, tak semuanya melakukannya. Masih banyak kepala sekolah yang memang benar-benar menjadi kepala sekolah. Mengabdikan diri untuk pendidikan anak Indonesia (saya benar-benar berharap demikian sehingga kepercayaan saya pada negara tempat lahir saya ini tidak mencair). Saya hanya berharap semoga hal ini memang benar-benar menjadi bualan saya karena jika benar, kita harus kembali mengembalikan semuanya lagi ke awal, tentang membawa dan memperjuangkan Indonesia.

Mari agungkan kembali kalimat 'TERIMAKASIH UNTUK TIDAK MEMBERIKAN HADIAH DALAM BENTUK APAPUN, CUKUP DENGAN SENYUMAN'

#katakantidakpadakorupsi