Kepentingan dan Keuntungan
Menikmati teh di sore hari dengan rintik lembut ternyata cukup menyenangkan. Ditemani dengan melihat si hitam, kucing kami, yang baru melahirkan tiga orang anaknya dengan warna yang sama sedang mengeong berebut makanan. Namun, bukan itu yang ingin disentil dan diceritakan, tapi tentang jalanan berlubang yang begitu menjengkelkan di salah satu jalan utama Puger-Wuluhan (bisa cek peta ya kalau tidak tahu).
Jalanan itu benar-benar seperti ranjau darat yang setiap saja bisa meledak. Bukan meledakkan kita, namun meledakkan ban mobil kita. Satu ketika tangan iseng ini membuka halaman tentang beberapa kebijakan pembangunan jalan di negara tetangga. Ternyata, setiap proyek telah mengantongi pendapat ahli tentang kualitas dan perkiraan ketahanan jalan. Hal ini juga berlaku untuk hal lainnya seperti jembatan, bangunan sekolah, dan lain sebagainya. Dengan kualitas A, ahli akan memperkirakan berapa tahun jalan tersebut bisa bertahan dan perlu di perbaiki ulang meskipun belum banyak kerusakan. Namun, jika belum sampai pada tahun ketentuan, maka kontraktor pembangun bisa dikenai tuntutan atas hal tersebut seperti kemungkinan korupsi bahan atau dana, dan lain sebagainya.
Meskipun hal itu bisa diterapkan (seharusnya) di Indonesia, keutamaan atas kepentingan dan keuntungan pribadi masih menjadi kendala. Dan parahnya itu sudah ada di berbagai lapis posisi sehingga mustahil untuk ditindak lanjuti.
Ayo kita coba berlogika yang mungkin saja salah. Tapi tak apalah, daripada bengong dengan pikiran kosong. Seharusnya pemerintah sebagai pemilik proyek bisa menuntut para kontraktor yang telah diberi kewenangan membangun jalan ternyata tidak memberikan hasil yang sesuai. Hal itu dengan catatan jika dana pokok dari yang telah dianggarkan memang benar-benar diberikan pada kontraktor. Namun sayangnya kalian perlu mengingat apa yang terjadi pada lelang kontraktor. Kontraktor yang paling memberi untunglah yang diambil, dengan catatan sebanding antara kualitas dan LABA pribadi. Well, ini dugaan saja sih sebetulnya, namun mungkin bisa dipikirkan ulang jika kita menilik kasus lainnya, yaitu kucuran dana pendidikan.
Baru-baru ini saya sedikit tidak habis pikir dengan jalan pikiran pemangku kebijakan. Logikanya, siapakah yang perlu dana lebih? Sekolah kota yang sudah maju dimana siswanya rata-rata sudah diantar minimal pakai sepeda motor diatas tahun 2000 ataukah sekolah pinggiran yang bahkan honor guru saja masih kas bon 3 bulan dengan siswa yang tak sampai 100 orang dan berada di pelosok desa di bawah gunung. Logika saya tentu saja sekolah mungil yang harus ditempuh paling tidak 1,5 jam dari kota itu. Tapi sayangnya hal itu tidak berlaku disini. Dana kucuran datang terus menerus untuk pembangunan dan pengembangan ke sekolah kota dengan jumlah siswa yang sudah ribuan. Sedangkan sekolah pinggiran hanya menjadaptkan 1/8 atau kurang dari jumlah dana yang diajukan.
Well karena tidak terlalu mengikuti beritanya saya hanya menebak-nebak, mungkinkah hukum kepentingan dan keuntungan juga berlaku disini? Apakah kepentingan para pemegang kebijakan membantu sekolah pinggiran. Dan tentu saja apa keuntungannya mereka ketika membantu disana?
Jika dipikir-pikir tidak ada mungkin ya, karena sekolah yang kekurangan masih belum bisa memberikan pesangon atau paling tidak prasmanan dan jamuan makan saat ada pengecekan kondisi. Atau mungkin tidak ada kepentingan apapun disitu menyangkut kantong ataupun yang lainnya. Uppss, sorry.
Ah, sudahlah. Toh saya hanya mendengar selentingan yang sayangnya kenyataan. Jika ingin melihat kebenara boleh kok tanya langsung pada pemegang kewajiban. Citizen journalism perlu dijalankan kan ketika para wartawan terkendala pemihakan sponsor atau mungkin dan lain lain.
Seperti kata Jay di Jaykeeout, saya malu mengatakan ini karena ternyata masih banyak orang baik di luar sana. Tapi saya tidak bisa mengabaikan ketika saya juga masih percaya bahwa tidak sedikit orang yang masih bertanya apa keuntunganya untuk saya dan apa kepentingannya? Mungkin juga termasuk saya :P