Tak Semanis Rasanya, Swasembada Gula Berjalan Pahit
Teh tak harus manis, kopi pun kebanyakan orang lebih senang dengan rasa yang pahit. Namun ternyata gula masih menjadi salah satu komoditi yang sangat di butuhkan. Angka 2.97 juta ton gula yang dibutuhkan oleh masyarakat tahun lalu merupakan pembukti ampuh bahwa gula masih harus terus diproduksi secara maksimal.
Swasembada gula 2014, ya, inilah
suatu program yang dikabarkan tengah di kerjakan oleh pemerintah. Program yang menuntut produksi tebu untuk
lebih maksimal lagi agar dapat memenuhi kebutuhan masyarakat secara nasional.
Namun ternyata swasembada yang sagat di butuhkan ini mendapat banyak kendala
yang riskan, sampai pada akhirnya target pecapaian pun di turunkan.
Membaca sekilas berita tentang
swasembada gula kita akan langsung mengena pada beberapa kendala yang banyak
terlontar di media online, diataranya adalah terkendalanya penyediaan bibit
unggul, pengairan yang buruk, tidak adanya lahan untuk perluasan tanam tebu. Alasan-alasan kendala itu bukalah tanpa
alasan, terutama untuk perluasan lahan yang merupakan kendala utama untuk
meningkatkan produksi gula.
Kita tahu bahwa saat ini rendemen
gula memiliki tingkat yang rendah. Hal inilah kenapa perluasan tanam tebu perlu
diperluas. Namun ternyata untuk menemukan lahan yang memiliki luas sekitar
350.000 hektar bukanlah perkara mudah. Permasalahan seperti adanya hak ulayak
dan gugatan pemilik HGU merupakan hal-hal klasik yang terus menjadi kendala.
Banyak efek karena tidak
ditemukannya lahan yang luas tersebut, diantaranya adalah pesimisnya sikap
pemerintah dalam target swasembada gula. Seperti yang dinyatakan oleh
Kementerian Pertanian, target produksi gula yang semula 5.7 juta ton dikoreksi
menjadi 3.1 juta ton. Meskipun tidak mempengaruhi hal lain secara signifikan,
namun ternyata pengambilan sikap ini sudah dapat menunjukkan bagaimana sebenarnya
sikap pemerintah dalam pelaksanaan swasembada gula 2014 ini.
Patah arang, itulah yang bisa
terlihat dari para petani tebu. Semua pesimisme yang ada dan kegagalan yang
terus datang menjadikan mereka tidak ingin lagi menanam tebu. Rasa merugi tidak
ingin lagi dirasakan oleh mereka. Apalagi mereka saat ini semakin yakin impor
rafinasi akan terus berlaku yang menjadikan mereka semakin merugi nantinya.
Selajur selentingan “Kenapa harus
melulu memikirkan perluasan lahan kalau bisa memaksimalkan produksi dengan
membuat pabrik baru? “ oleh seorang petinggi membuat kita berfikir ulang. Kalau
memang sekian kendala itu tidak bisa di singkirkan kenapa tidak memaksimalkan
mereka dengan hal lain?
Ya,
pabrik baru memang memiliki potensi yang besar dikala ini. Para pabrik baru ini
akan memaksimumkan rendemen dan produksi gula dari jumlah tebu yang ada saat
ini. Selain itu, pembangunan pabrik tak membutuhkan banyak lahan kan? Meskipun
memang tak dapat dipungkiri uang sekitar 1 triliun harus dikeluarkan dari
kantong untuk merealisasikannya.
Terlihat berat dan terlalu besar.
Hal itulah yang mungkin akan kita pikirkan melihat nominal untuk pembuatan
pabrik gula. Lalu kapan terlaksananya swasembada tebu kalau seperti ini? Inilah
peranan penting dari para perusahaan perkebunan tebu, seperti halnya PTPN X.
Mereka bisa membuat rencana mereka menjadi semenarik mungkin untuk industri ini
sehingga dapat mencapai minat para stake
holder yang sangat banyak di luar sana. Para stake holder inilah yang akan membantu dalam pembuatan pabrik gula.
Hal ini bukalah hal yang mustahil untuk dilakukan mengingat industri gula saat
ini sangat menggiurkan jika dilaksanakan dengan maksimal.
Menurut Wakil Ketua Umum Kaadin Bidang Perdagangan Distribusi dan Logistik, Natsir Mansyur, saat ini perusahaan seperti PTPN di Indonesia
hanya mampu memenuhi 60% gula nasional[1].
Bukankah ini merupakan prospek yang sangat besar bagi para stake holder untuk berinvestasi? Hanya saja tinggal bagaimana PTPN
X memperlihatkannya pada mereka dengan semenarik mungkin.
Memang tantangan untuk mencapai para
stake holder ini masih sangat rumit
saat ini. Mengingat bahwa PTPN masih merupakan BUMN, maka hal yang bisa dilakukan
adalah bicara tentang privatisasi. Namun PTPN X bisa saja berfikir independen.
Para stake holder lokal merupakan
pangsa pasar yang sangat banyak berkeliaran di sekitar kita. Hanya saja mereka
berfikir kerumitan yang tiada batas ketika sudah berbicara sangkut pautnya
dengan pemerintah. Itulah alasan penting dimana PTPN X dibutuhkan.
PTPN X bisa menciptakan iklim
berbeda dari perusahaan lain. Iklim ini seperti halnya adalah peningkatan
kinerja perusahaan dan penunjukan kualitas semua unsur di dalamnya. Selain itu
PTPN X bisa melakukan kontrol ulang pada semua hal, seperti pada SDM, sistem
administrasi dan keuangan, pemasaran, pengembangan dan penelitian, serta
operasional. Dengan kualitas yang tinggi pada semua unsur itu, para stake holder tidak akan menampik bahwa
revitalisasi pabrik memang benar-benar dibutuhkan. PTPN X juga perlu
memanfaatkan semua hal yang dia punya, seperti halnya prospek wisata sejarah
pabrik gula yang saat ini banyak dibicarakan. Kerjasama yang erat dengan para
instansi pendidikan dengan sasaran para pelajar yang haus akan pengetahuan
menjadi jalan ampuh. Ditambah lagi jika pabrik gula yang dimiliki bisa menjadi
sebuah wisata budaya yang bukan hanya menampilkan proses pembuatan gula, namun
juga eksplorasi lain mengenai gula.
Untuk mencapai seuatu yang besar
memang harus melalui tantangan yang besar. Namun mengingat industry ini sangat
memiliki peluang, PTPN X harus bekerja ekstra keras dalam memanfaatkan seluruh
sumber daya yang ada. Dengan keberhasilan ini PTPN X bukan hanya membantu
pemenuhan gula nasional ataupun meraih keuntungan bersih belaka, namun juga
menyelamatkan para petani tebu yang saat ini terancam gulung tikar karena
adanya gula impor. Hal ini memang berat ketika berbagai birokrasi dan
ketidakseriusan pemerintah melalang buana. Namun perbaika dalam diri PTPN X
akan menyilaukan mereka di luar sana dan pinu keberhasilan akan terlihat
terang.
[1]
http://economy.okezone.com/read/2012/07/28/320/669858/gula-nasional-hanya-mampu-penuhi-60-kebutuhan