Only One, and It’s You
Kita
tidak akan pernah tahu orang-orang yang pernah kita harapkan, kita tidak
harapkan, kita inginkan, ataupun yang tidak kita inginkan menjadi siapan di
masa depan. Mungkin saja mereka menjadi teman, mungkin saja menjadi lawan. Dan
mereka juga bisa menggantikan seseorang.
***
Aku berdiri menghadap ke jendela.
Memaparkan pemandangan langit biru yang merata. Semuanya seakan terlihat
menakjubkan dari sini. Dua lembar kertas berwarna merah dan biru itu aku
genggam dengan erat.
“ kau pasti
sudah gila “ hanya kata-kata itu yang meluncur dari sahabat sekaligus musuhku.
Alea duduk sambil mengerutkan keningnya. Seakan tidak percaya apa yang aku
katakan.
“ kau hanya
pergi kesana sehari itu? Tanpa memiliki tujuan yang jelas? Apa kau sudah benar-benar
kehilangan kesadaranmu, Aria Cadwell? “ cercaannya membuatku tersenyum. Aku
tahu aku sudah gila. Dan ini adalah hal pertama yang membuktikannya.
“ aku punya
tujuan yang jelas “ kataku sambil tersenyum kearahnya.
“ ingin bertemu
dengan orang yang tidak akan pernah bisa kau temui? “ katanya sambil mendengus
kesal.
“ who know? “ ujarku. Ya, minggu depan
orang yang selama ini aku tunggu akan berada di satu negara bersamaku. Berdiri
satu tempat denganku. Dan aku ingin
melihatnya. Bahkan jika memang aku harus melihatnya dari jauh aku akan
menyetujuinya.
***
Aku
berjalan gontai menuju ruang tunggu penerbangan. Ketakutanku hampir membuatku
mengurungkan niat. Tapi ternyata keinginanku jauh lebih kuat.
“ aku pasti
sudah sangat gila ingin menemuinya “ gumamku sambil melihat selembar foto yang
aku selipkan diantara notebook ku. Mr. Ondubu, setidaknya itu julukannya.
Seorang musisi Asia yang sedang membuming saat ini. Dan sekarang dia berada
dalam satu negara denganku. Meskipun tidak bisa melihat konsernya namun
setidaknya harapan untuk menemuinya masih jelas ada.
“ siapa dia? “
suara itu membuatku mendongak. Seseorang yang sudah lama tidak kutemui. Edja
Widyatama, cowok yang menurut sebagian orang termasuk dalam kategori hamper
sempurna. Tapi sepertinya tidak menurutku.
“ sedang apa kau
disini? “ tanyaku tanpa menjawab pertanyaannya.
“ aku ada
sedikit urusan di Jakarta “ jawabnya singkat lalu mengambil duduk di sebelahku.
Aku mengerutkan kening.
“ dengan
penerbangan ini? “ tanyaku lagi. Dia mengangguk sambil menunjukkan tiket yang
menyantumkan nomor penerbangan yang sama dengan yang kumiliki. Aku tersenyum.
Ternyata Tuhan tidak membiarkanku pergi sendiri. Orang paling menyebalkan di
seluruh dunia, kedua setelah Alea, menjadi penjagaku sekarang.
***
Jakarta, entah kenapa dulu aku
sangat tidak menyukai kota ini. Terlalu padat, terlalu sibuk, dan terlalu
banyak kehidupan. Namun sekarang aku berdiri di pusat kota ini. Sendiri.
Aku berjalan
menyusuri jalanan setapak gedung yang nantinya akan menampilkan Mr. Ondubu. Ya,
disinilah nanti mereka memamerkan suara mereka.
“ seandainya aku
bisa melihat kalian “ gumamku sambil berjalan gontai. Langkah kakiku berhenti
di depan sebuah pamphlet besar yang terpasag di pintu masuk gelora. Terpampang
banyak sekali wajah orang dan di antaranya adalah dia. Aku menghela nafas
perlahan.
Aku
duduk di deretan kursi taman. Para fans yang sangat ramai mendominasi
pemandangan siang ini. Aku mengeluarkan foto yang selama ini selalu terselip di
notebook ku.
“ apa kau sedang
tidak ada kerjaan lain selain memandangi foto itu ha? “ aku tersenyum tanpa
melepaskan pandanganku. Edja sepertinya sudah menyelesaikan urusannya. Namun
sekarang sepertinya aku lebih menginginkan kesendirian. Meratapi perasaanku
sendiri.
“ ayo ikut aku “
ajaknya sambil menarik tanganku. Aku mengerutkan kening.
“ aku sedang
malas kemana-mana “ kataku tanpa semangat. Tapi sepertinya Edja tidak akan
termasuk dalam orang yang menyebalkan jika tidak memaksakan kehendaknya.
***
Ruangan
ini hampir mirip sebuah ruangan kosong. Hanya terpampang screen putih yang sangat besar di salah satu sisi dinding. Edja
menyalakan lampu lalu menutup pintu. Dia berjalan kea rah ujung ruangan.
Berdiri sejenak di depan sebuah screen.
“ kau lebih suka
menonton konser berdiri atau duduk? “ aku mengerutkan kening karena
pertanyaannya.
“ sepertinya kau
akan lebih memilih duduk karena itu akan terasa lebih berwibawa “ dia menjawab
pertanyaannya sendiri sambil menyeret dua kursi.
“ kita sedang
apa? “ tanyaku masih bingung. Edja hanya tersenyum. Senyuman itu berbeda. Dan
aku belum pernah melihatnya. Dia berjalan kearah belakang lalu semuanya menjadi
gelap.
“ Edja- “
kata-kataku terhenti tepat saat sebuah gambar terlihat jelas di hadapanku.
Terdengar suara riuh orang. Aku tercekat ketika melihat suasana konser
terpampang jelas di screen itu.
“ bayangkan kita
sedang berada di antara mereka “ bisik Edja. Aku hanya terdiam. Suasana ini,
suara yang menggema ini, dan tampilan full screen ini membuat kami benar-benar
seperti berada di tengah-tengah SM Town III concert.
Dan aku juga terdiam, sisi lainnya membuatku selalu merasa tenang dan tidak
sendiri.
***
Aku
memincingkan mata saat sinar matahari sore menyapa mata kami. Aku berhenti
sejenak.
“ ada apa? “
tanyanya. Aku hanya tersenyum lalu menarik tangannya. Strabuck coffe, he love coffe dan ini akan menjadi
ungkapan terima kasihku.
“ ini “ kataku
sambil menyodorkan coffe lattle favoritnya. Dia mengerutkan kening lalu
menerima gelas berwarna hijau itu.
“ thanks “
tambahku sambil menyeruput cappuccino favoritku. Kami duduk dengan pikiran kami
masing-masing. Nikmatnya coffe dan cappuccino kami seakan membuat semuanya
lebih baik.
“ kenapa kau
tidak melihat konsernya jika kau memang ingin melihatnya? “ aku tersenyum
mendengar pertanyaannya. Mengingat kembali bagaimana aku memberikan tiket yang
sudah aku dapatkan kepada seorang gadis yang menangis karena tidak mendapatkan
tiket itu.
“ ada orang lain
yang lebih menginginkannya “ jawabku lalu menyeruput kembali cappuccino yang
masih tersisa ¾ itu.
“ ternyata kau
masih tetap sama, Aria “ katanya sambil tertawa renyah. Aku hanya tertawa
mendengar ucapannya. Tiba-tiba suara riuh itu terdengar. Semua orang berlari ke
arah segerombolan orang yang dijaga ketat itu. Aku tersenyum ketika orang yang
ingin aku lihat melintas sekilas. Perasaan untuk berlari mengikutinya membuatku
berdiri. Tapi ternyata hanya itu yang bisa aku lakukan. Senyuman itu tiba-tiba
keluar dan mengembang dari bibirku.
“ ayo kita
pergi. Dua jam lagi kita harus pulang “ kataku sambil berjalan gontai menuju
halte. Edja tidak berkata sepatah katapun. Dia hanya berjalan mengikutiku. Aku
pun begitu. Mataku yang terasa seakan seperti terbakar menahan sesuatu. Dan aku
tidak ingin itu keluar.
***
Lakukan
hal itu dan rasakanlah. Maka kau akan mengetahuinya.
Bandara
terlihat sedikit lenggang. Penerbangan domestik terakhir membuat kami leluasa
berjalan tanpa berpapasan dengan banyak orang. Namun ternyata suasana ini lebih
mencekat dari yang aku kira. Perasaan yang aku sendiri tidak pernah
mengetahuinya.
Kami
duduk di luar bandara. Menunggu travel yang akan mengantarkan kami. Diam dan
hanya itu yang kami lakukan.
“ menangis bukan
hal yang terlalu memalukan “ kata-katanya membuatku menoleh padanya. Senyuman
menenangkan itu kembali muncul. Dia membalikkan badannya. Menghadapkan
punggungnya padaku. Dan entah kenapa seakan kami sedang berbicara, aku mengerti
maksudnya. Air mata itu turun di balik punggungnya. Menyandar di sana dan
mengeluarkan semuanya. Entah apa yang membuatnya berbalik. Tanpa sadar aku
sudah berada dalam dekapannya. Pelukan hangat dan menenangkan itu membuat
semuanya menjadi berbeda sekarang. Dirinya yang lain, yang saat ini sedang
memelukku.
“ seperti apa
sebenarnya musisi itu sampai bisa membuatmu seperti ini. Juga membuatmu buta
akan orang lain yang akan lebih mempedulikanmu “ gumamannya terasa begitu
jelas. Namun semuanya hanya sebuah gumaman semata sampai dari mulutnya terucap kata-kata
yang tidak pernah terbayangkan keluar dari mulutnya.
***
Semuanya
berputar dan terus berjalan. Ya, semuanya harus move on. Waktu tidak akan berhenti, setidaknya untuk kita sampai
pada saatnya kita memag harus melepas waktu itu dan berhenti mengikutinya.
“ ini ada paket
lagi untukmu “ Alea kembali melakukan kebiasaan barunya selama satu bulan ini.
Melempar paket berisi mp3 yang berisi lagu-lagu, yang menurut semua orang yang
mendengarnya termasuk lagu bagus, yang dikirim setiap awal minggu.
“ dan anonim
lagi “ tambahnya sambil memutar lagu terbaru dari Mr. Anonim itu.
“ dia
benar-benar penyanyi yang baik “ kataku sambil mendengarkan lagu terbaru yang
belum pernah aku dengar sebelumnya. Semua lagunya berisi ungkapan perasaan
kepada seseorang yang dia sayangi. Tak terbatas, tak terlihat, dan tak pernah
terucap.
“ siapa
sebenarnya dia? Bahkan setidaknya dia harus- “ Alea menghentikan ucapannya.
Sepertinya dia langsung mendapatkan jawabannya. Suara yang sudah sangat aku
kenal dan tidak pernah membayangkan bahwa itu adalah miliknya.
“ Edja “ gumamku
pelan sambil berjalan menuju kursi sound yang mengumandangkan suaranya itu.
“ Hai Aria
Cadwell. Are you ok now? Aku tidak
pernah tahu harus mengucapkannya bagaimana dan dengan cara apa. Hanya dengan
melihatmu saja rasanya semuanya berhenti sejenak lalu berjalan dengan cepat.
Tapi dalam waktu yang asing itu aku selalu berharap kau mengetahui perasaan
ini. Only one and it’s you, Aria
Cadwell “ semuanya terlintas dengan cepat ketika kalimat terakhir itu terucap.
Gumaman itu terasa begitu jelas. Sebuah lagu mengalun lembut diiringi dengan
piano. Lagu ini mengulang kembali memori yang sangat lama terpendam. Lagu
pertama yang pernah aku dengar. Ketika dia berdiri sendirian di ruang music
sekolah. Mengalunkan nada lembut dan menyuarakan suaranya yang indah.
“ kau mau
kemana? “ teriakan Alea menghentikanku sejenak. Aku berbalik mengambil tas
putih yang tergeletak di atas tempat tidur.
“ Edja akan
berangkat ke Ausie 1 jam lagi “ lagi-lagi ucapan Alea membuatku berhenti. Aku
mengerutkan kening.
“ tadi malam aku
bertemu temannya yang baru saja membantunya berkemas. Hari ini dia berangkat
untuk studi lanjutannya di Ausie “ ucapan Alea seakan menjadi cambuk untukku.
Aku berlari menuju parkiran mobil.
“ kenapa Edja,
kenapa tidak dari dulu kau mengungkapkan perasaan itu? “ teriakan dalam pikiran
itu seakan ingin aku teriakan. Perasaan itu kembali muncul. Perasaan yang dulu
pernah aku taruh padanya. Sekarang perasaan itu muncul lagi.
“ Only one, it’s you, Edja Widyatama “
gumamku. Hanya kalimat itu yang aku ingin katakana padanya. Untuk pertama
kalinya bersikap tenang tertinggal. Entah dimana namun sekarang aku ingin
menemuinya dan mengucapkannya.
***
Bandara
ini seakan lapangan yang begitu luas. Aku berputar mencari sosok itu. Sosok
yang seakan memiliki dua sisi kehidupan. Namun ternyata aku tidak menemukannya.
Terengah,
lelah, kecewa, dan putus asa. Aku duduk sambil membuka genggaman tangan itu.
Foto lama yang sepertinya benar-benar hanya akan menjadi barang kenangan. Perasaan
ini benar-benar membuat air mata yang membendung itu mengalir deras. Entah apa
yang membuatnya begitu penting saat ini. Perasaan kecewa ini melebihi ketika
Mr. Ondubu sama sekali tidak bisa kutemui.
“ setidaknya kau
harus mengucapkan selamat tinggal, Dja “ kata-kataku seakan tenggelam dan ikut
mengalir bersama air mata itu. Namun ternyata ada telinga yang mampu mendengarnya.
“ haruskah aku
mengatakannya? “ dia berdiri dihadapanku. Dengan senyuman khasnya. Entah apa
yang membuatku tercekat. Tidak berani berbicara. Mengatakan apa yang aku ingin
katakan.
“ why? Bukankah kau ingin mengatakan
sesuatu, Miss Cadwell? “ tanyanya sambil berjalan mendekat.
“ Only one, and it’s you, Edja Widyatama “
ucapan itu terucap begitu saja. Edja menghentikan langkahnya. Tatapannya tidak
bisa terungkap.
“ kenapa kau
baru mengaucapkanya sekarang, Dja. Kenapa tidak lima tahun yang lalu. Kenapa
tidak secepat mungkin. Kau tahu bagaimana memendam perasaan suka itu? Kau tahu
bagaimana menahan keperihan itu ketika melihatmu pergi? Kau tahu bagaimana aku
menunggumu untuk kembali ke Surabaya? Kau tahu bagaimana aku berusaha menghapus
perasaan itu? Apa kau tahu itu semuanya, Dja. Dan sekarang kau ingin
mengulanginya lagi? Kenapa kau begitu jahat, Dja “ semua cercaan itu seakan
begitu saja muncul. Perwakilan atas semua perasaan itu terucap sekarang.
“ hanya itu yang
ingin aku katakan. Semoga kau sukses disana “ aku melangkahkan kakiku. Pergi
meninggalkan orang yang selama ini selalu menjadi bayangan dalam kehidupanku.
Orang yang mengenalkanku pada banyak hal dan terutama pada perasaan itu. Aku
ingin berlari meninggalkannya. Tapi tarikan dan pelukan itu membuatku terdiam
disana. Air mata itu kembali mengalir.
“ maaf, Aria.
Aku terlalu takut untuk menunjukkannya padamu. Aku terlalu takut mengatakannya
padamu. Sama, Aria. Aku juga merasakan hal yang sama. Kekecewaan itu, kesedihan
itu. Tapi aku tidak ingin mengulanginya lagi, Aria. Aku tidak ingin melepaskanu
sekarang. I want you’re mine “
kata-kata itu mengalir hangat. Akhirnya aku tahu apa yang membuatnya takut. Dan
akhirnya aku tahu apa yang membuatnya tidak bisa lagi menjadi Mr. Perfect.
“ jadi kau tidak
akan pergi ke Ausie? “ tanyaku sambil menatap wajahnya.
“ aku tidak akan
menjadi bodoh hanya karena mendapatkanmu, Miss Cadwell “ katanya sambil
menjitak kepalaku. Ternyata dia tetap menjadi orang yang menyebalkan.
“ aku akan
berangkat 1 jam lagi. Dan kau harus berangkat 1 tahun lagi. Kau mengerti? “
katanya lagi lalu kembali memelukku.
“ aku hanya akan
pergi ke Korea 1 tahun lagi “ ucapku sambil melepas pelukannya.
“ kau tidak akan
rela karena kau benar-benar menyukaiku “ katanya lagi.
“ kau akan
mengetahuinya nanti “ ucapku. Ya, nanti kita akan mengetahuinya. setelah jarak
dan waktu tidak lagi menghalangi kita. Only
one, and it’s you.
***
Epilog
“ apa?! Jadi kau
benar-benar masuk SNU[1]? “ teriakan
Edja membuatku menjauhkan ponsel dari telingaku.
“ tidak perlu
berteriak sayang. Aku mendapatkan tawaran beasiswa disana. Dan kau tahu, aku
memiliki apartment yang bersebelahan dengan Mr. Ondubu “ jawabku sambil terus
berjalan.
“ apa kau
benar-benar mau membandingkanku dengannya, Miss Cadwell? “ ucapnya lagi. “
setidaknya dia tidak pernah berbicara dengan nadamu seperti saat ini, Mr.
Widyatama “ aku menekan bel pintu berwarna putih itu. Suara itu ikut bergema
dalam telepon.
“ apa kau ingin
membuat tamumu menunggu diluar? “ kataku yang sepertinya direspon tanpa pikir
panjang oleh Edja. Wajah yang selama ini hanya aku lihat dari layar computer
atau ponsel, terlihat nyata di hadapanku. Dia tidak banyak berubah. Sama
seperti perasaan ini. Tidak akan pernah berubah.
“ apa kau akan
selalu membuat orang panik dan terkejut ha? “ katanya datar tanpa menurunkan
ponsel dari telinganya.
“ just for you, honey “ kataku lalu
memeluknya. Ya, setidaknya sekarang kami tahu apa yang kami pilih dan apa yang
kami inginkan. Yang khayalan atau benar-benar kenayataan. Only one, and it’s you.
The end