Berapa sering kamu membeli baju
dalam satu tahun? Sekali? Dua kali? Tiga kali? Setiap bulan? Setiap minggu?
Atau mungkin ada yang setiap hari?
Well, jika kalian salah satu yang
termasuk sering membelinya, terutama yang mencakup fast fashion brand, you need
watch this movie first. Jangan menjadi seseorang yang tidak tahu jika ternyata
apa yang kita lakukan bisa memiliki efek kurang baik yang berkepanjangan yang
sampai sekarang masih belum bisa menemukan solusinya.
Film ini sebenarnya sudah cukup
lama dibuat, tahun 2015 tepatnya. Cukup terlambat memang untuk baru saja
mengetahuinya dan melihatnya. Film yang menunjukkan sesuatu yang tidak pernah
kita pikirkan sebelumnya, tentang hal yang paling sepele dalam hidup kita,
yaitu apa yang kita kenakan.
Pakaian adalah kebutuhan utama,
tapi siapa sangka dengan dalih itu ternyata pakaian menjadi salah satu acaman
utama nantinya. Bersaing dengan tercemarnya udara akibat polusi dan juga limbah
plastic yang tak kunjung berakhir. Kita tak pernah tahu bukan bagaimana
prosesnya, pakaian branded yang dijual murah dengan sale tinggi ini bisa sampai
ada di etalase toko dan siap kita bawa pulang kapanku kita mau.
Saya tidak ingin berbohong, di
almari pakaian saya ada beberapa potong pakaian sejenis yang dulu saya beli
mungkin setiap dua bulan sekali atau saat toko-toko menampakkan diskon besar.
Tanpa berpikir panjang, satu dua potong langsung berpindah ke etalase pakaian
saya. Tapi saya sadar, seharusnya sekarang saya perlu menanyakan satu hal pada
diri saya sendiri sebelum melakukan hal yang sama, “apakah saya membutuhkannya?
Urgently?” dan saya berharap anda pun juga.
Indonesia memang tak ikut
tersorot di film itu, tapi ercayalah beberapa brand setara memiliki sarang
produksi di beberapa kota di Indonesia. Dan masih belum ada jaminan, nasib
mereka jauh lebih makmur di banding orang-orang seperti Shima.
Tidak ingin sok bijak atau
menjudge apapun, tapi setidaknya ‘learn more and take action’ yang dikatakan
oleh Untold Production perlu kita pikirkan lagi. Well, not advertisement, but
this is the recommended one. For discuss or maybe just to watch by our self.
Sandang,
Pangan, Papan. Tiga hal ini yang dulu menjadi salah satu hal primer dalam
kebutuhan hidup manusia. Tapi siapa sangka hal ini bisa membalik menyerang
kehidupan, sedikit demi sedikit menggerogoti kesejahteraan manusia. Dan mungkin
saja, kita salah satu pelakunya, dengan segala keegoisan dan tanpa peduli hal
lain hanya menuruti keinginan kita.
Aku membuka folder lama dan menemukan beberapa potong file foto yang masih raw. Aku tergiur membuatnya lebih dramatis mengingat saat ini aku benar-benar tergila-gila dengan black and white of street photography. Ingin rasanya belajar hal itu dari beberapa nama orang yang sudah bertengger manis di dekat peta duniaku. Namun, tak apalah. aku hanya ingin membuat sebuah kaleidoskop. Siapa tahu aku menemukan sebuah kemajuan saat melihat foto ini lagi beberapa tahun kedepan.
"KTX : Busan to Seoul" - Busan, South Korea
"The Bridge" - Seoul, South Korea
"Motret Anak Pantai" - Puger, Jember, Indonesia
Aku punya sedikit cerita untuk foto Motret Anak Pantai. Saat itu kami sedang liputan untuk sebuah topik. Kami menemukan mereka tengah bermain bola di sore hari menjelang Maghrib. Tidak ada yang istimewa saat itu, namun seorang teman menyapa mereka dan ingin sekali mengabadikan wajah mereka. Dari mataku itu berbeda lagi. Aku ingin mengabadikan mereka semua, dimana seseorang perlu mengabadikan setiap momen yang mungkin tanpa mereka sadari membuat semua mata dan hati terdiam untuk sesaat, tentang pengabadian momen itu.
"Ngopi" - Jember, Indonesia
Taken by Nody A, Editing by Tina L. W.
Bukan melupakan yang jadi masalahnya. Tapi menerima.
Kenapa Hujan milik Tere Liye patut untuk dibaca?
Sudah membaca novel Hujan milik Tere Liye?
Novel yang baru terbit Januari lalu ini mampu memberikan nuansa berbeda pada pembaca. Selain kisah perasaan yang tak menentu antara Lail dan Esok, Tere Liye mencoba memberikan menu refleksi diri bagi para manusia tentang bersikap pada bumi.
DI novel bersampul biru ini, Tere Liye menyajikan genre science yang dipadu dengan apik bersama karakter social yang tinggi dari Lail beserta sahabat dekatnya. Penulis menggambarkan kehidupan seorang relawan yang memiliki dedikasi tinggi pada kondisi sosialnya, bahkan sampai mempertaruhkan nyawa mereka.
Yang paling menarik disini adalah karakter Lail yang tenang dan Esok yang menjadikan Lail sebagai rumah keduanya. Bersama Lail, Esok bisa beristirahat sejenak dari beban besarnya untuk kelangsungan hidup bumi. Dan bersama Lail juga Esok dapat merasakan banyak ketenangan dan refreshing dari tugas yang hampir menyita seluruh masa remajanya.
Novel yang dikemas dengan bahasa yang enak ini patut dibaca dan akan membuat siapa saja tak bisa berhenti membacanya. Pembaca akan disuguhi kisah perjalanan panjang dari masa kanak-kanak sampai mereka dewasa dan bisa merasakan cinta yang terasa rumit. Apalagi, romansa itu dipadu dengan kondisi bumi yang mendekati kehancuran, membuat Lail memilih jalan pintas untuk melupakan sosok Esok.
Kita tahu, korupsi adalah musuh bebuyutan kita. Banyak sekali kehidupan yang menghilang karena hal tersebut. Kecil atau besar, uang ataupun waktu, semuanya tetap bisa dikatakan korupsi.
Akhir-akhir ini saya dekat dengan komunitas para kepala sekolah, begitu juga dengan cerita terkait dengannya yang akhirnya membuat saya memberanikan diri bertanya beberapa hal terkait rumor tersebut.
Sebelumnya, yang saya tahu kepala sekolah hanyalah sebuah jabatan tertinggi di sekolah. Dia bertanggung jawab atas semua hal yang berlangsung di sekolah itu. Secara prestige tingkatan sosial, itu benar-benar membanggakan memang. Sehingga saya angap wajar saja banyak orang memperebutkan posisi itu. Padahal jika kalian tahu, posisi kepala sekolah tak selalu kosong. Tes nya tak selalu berlangsung setiap tahun. Dan tentu saja, persyaratannya bukan hal mudah. Apalagi untuk penempatan pertama tidak pernah langsung berada di lokasi strategis seperti di kota dengan jalanannya yang mulus, tapi di sekolah rintisan pinggiran yang kadang hanya bisa ditempuh dengan kendaraan khusus.
Tapi kenapa banyak sekali orang yang memperebutkan kursi itu? Bahkan tidak sedikit dari mereka yang merelakan beberapa puluh juta rupiah agar segera diangkat dan di tempatkan di posisi ini. Sebegitu mewahnyakah posisi ini?
Tapi ternyata saya salah besar. Kepala sekolah bukan hanya perkara jabatan. Tapi ternyata juga perkara uang!!!
Siang itu saat perbincangan seorang kepala sekolah kenalan saya bersama dengan temannya, saya tak sengaja mendengar penjelasannya. Kepala sekolah bukan hanya perkara sebutan jabatan, tapi juga pesangon bulanan yang tak pernah surut. Mulut saya hanya bisa menganga karena tak pernah percaya hal itu.
Kepala sekolah memiliki banyak sekali tunjangan karena tugasnya. Sehingga banyak sekali post untuk memungkinkan honorarium nakal mengalir mulus kesana. Perkara uang 1-beberapa puluh juta bisa dengan mulus masuk dengan kata 'uang ganti bla bla bla'. Padahal uang yang mereka terima lebih banyak dari dana BOS dan juga biaya pembangunan sekolahnya.
Dengan alasan apapun, biaya pembangunan apalagi BOS bukanlah hal para pelaksananya. Mereka adalah hak anak didik yang tengah berjuang belajar untuk meneruskan kehidupan negara kelak. Tidak ada kata uang ganti bla bla bla atau bonus yang boleh diambilkan dari sana. Karena tunjangan profesi sudah masuk pada rincian gaji bulanan. Tapi semuanya berlaku seperti alah bisa karena biasa. Semua honorarium liar dan uang pengganti liar masuk dengan berbagai alasan dan nama. Dan saya tekankan lagi, ini sudah biasa sehingga tak ada lagi wajah korupsi. Semuanya dipoles rapi.
Korupsi ternyata tak lagi hanya ada di jajaran pemerintahan kelas atas, tapi juga sudah masuk ke lini pendidikan. Dimana seharusnya mereka mencontohkan kebersihan hidup dari kata korupsi. Sehingga akhirnya pertanyaan tentang 'kenapa sulit sekali memberatas korupsi' terjawab. Yaitu karena korupsi sudah berada pada rahim negaranya. Tempat dimana harusnya semua prosesnya benar-benar murni dan bersih.
Tapi tenang, saya tak memiliki bukti untuk hal itu sehingga kalian bisa bilang saya membual. Toh saya menulis ini karena takut apa yang menjadi logika saya hanya menguap seperti mimpi saya saat tidur semalam. Dan juga tenang saja, jika itu memang terbukti benar, tak semuanya melakukannya. Masih banyak kepala sekolah yang memang benar-benar menjadi kepala sekolah. Mengabdikan diri untuk pendidikan anak Indonesia (saya benar-benar berharap demikian sehingga kepercayaan saya pada negara tempat lahir saya ini tidak mencair). Saya hanya berharap semoga hal ini memang benar-benar menjadi bualan saya karena jika benar, kita harus kembali mengembalikan semuanya lagi ke awal, tentang membawa dan memperjuangkan Indonesia.
Mari agungkan kembali kalimat 'TERIMAKASIH UNTUK TIDAK MEMBERIKAN HADIAH DALAM BENTUK APAPUN, CUKUP DENGAN SENYUMAN'
#katakantidakpadakorupsi